Pembela Tanah Air
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tentara PETA sedang latihan di Bogor pada tahun
1944
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA (防衛強度義勇軍 kyōdo
bōei giyūgun?) adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air
dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan Peta
dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Tentara PETA telah berperan
besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional
yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman.
Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia,
antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat(BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI)
hingga akhirnya TNI.
Karena hal ini, PETA banyak dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.
Pembentukan PETA dianggap
berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala
pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi
permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di
medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan
Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat
bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat
patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari
kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena,
sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada
tanggal 13 September 1943,
yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H.Mas Mansyur, KH. Adnan,
Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA),
Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan
H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk
tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa [1]. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan
agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan
agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang
berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau
bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan
lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).
Pemberontakan batalion PETA di Blitar
Pada tanggal 14 Februari 1945,
pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan sebuah pemberontakan. Pemberontakan
ini berhasil dipadamkan dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat
pemberontakan, baik dari satuan PETA sendiri maupun Heiho.
Supriadi, pimpinan pasukan pemberontak tersebut, menurut sejarah Indonesia dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Akan
tetapi, pimpinan lapangan dari pemberontakan ini, yang selama ini dilupakan
sejarah, Muradi, tetap bersama dengan pasukannya hingga saat
terakhir. Mereka semua pada akhirnya, setelah disiksa selama penahanan oleh Kempeitai (PM), diadili dan dihukum mati dengan hukuman penggal sesuai dengan hukum militer Tentara Kekaisaran Jepang di Eevereld(sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945.
Pembubaran
PETA
Pada tanggal 18 Agustus 1945,
sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan
para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan
senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno,
mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional,
karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan
Jepang ini untuk dilanjutkan. [2][3][4]. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945,
panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan JendralNagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada
para anggota kesatuan PETA.
Peran
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia
Sumbangsih dan peranan
tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Demikian juga peranan mantan
Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung
dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman.
Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI),
mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia(TRI) hingga TNI. Untuk
mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikanmonumen PETA yang
letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
0 komentar:
Posting Komentar